Oleh: Budiana Irmawan (Peneliti Lingkar Studi Transformasi Kebijakan Publik)
EDUPUBLIK – Dugaan Extrajudicial Killing 6 anggota FPI harus dimaknai ada problem serius di institusi kepolisian. Fungsi Polri sebagai aparatur penegak hukum ternyata masih rentan intervensi kepentingan politis.
Bahkan laporan KontraS sepanjang tahun 2020 terjadi 29 kasus pembunuhan oleh polisi di luar proses hukum. Fakta ini menunjukan urgensi reformasi Polri.
Pemisahan Polri dari TNI sebetulnya baru fase awal reformasi kepolisian. Tahap berikut perlu penataan kelembagaan agar Polri taat asas menjalankan fungsinya sesuai norma hukum yang berlaku.
Struktur kelembagaan Polri sekarang sangat sentralistik. Padahal kepolisian bukan kombatan. Berbeda dengan TNI yang memang bertugas menurut garis komando, sementara polisi upaya menegakkan hukum dasarnya fakta hukum.
Untuk menata kelembagaan Polri, kita bisa melihat model Amerika Serikat yang terpisah (fragmented) antara polisi federal dan negara bagian atau model Jepang yang memberi desentralisasi kewenangan kepada prefektur/provinsi.
Sehingga dalam konteks Indonesia misalnya, polisi nasional bertanggung jawab kepada kementrian keamanan dan polisi daerah bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Jadi terbangun sistem saling kontrol di antara aparatur penegak hukum dan dapat menghindari bias kepentingan politik rejim.