Oleh: Marien Nadila (generasi muda peduli demokrasi)
EDUPUBLIK, KBB – Kurangnya peranan perempuan, bukan rahasia lagi. Di dunia politik, peran wanita dalam pembuatan kebijakan publik masih bisa dibilang sangat kurang. Mayoritas wanita, hanya menjadi partisipan pasif atau penonton, dan dalam proses pemilu tak jarang menjadi golput. Begitupun jumlah wanita yang menjadi anggota DPRD di Kabupaten Bandung Barat (KBB), lebih mengkhawatirkan dalam hal jumlahnya. Ini terjadi semenjak terpisah dari induk Kabupaten Bandung. Anggota parlemen DPRD Kabupaten Bandung Barat hanya tercapai 5 – 6% wanita.
Kurangnya peran dan partisipasi wanita dalam dunia politik, memang tidak jauh dari fakta masih sedikit wanita yang berminat terjun ke ranah politik. Padahal dari 1.158.564 jiwa rakyat pemilih tetap pada tahun 2018, terhitung 574.109 jiwa atau hampir setengahnya (data : KPU KBB). Hal ini karena rendahnya minat itu, tidak jauh dari tuntutan masyarakat kita tentang peran wanita atau gender role – seperti, wanita tidak perlu memimpin, karena itu dianggap melangkahi kodrat laki-laki. Galibnya, sekolah setinggi apa pun hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Wanita hanya perlu pandai memasak, melayani suami, mengurus anak dan mengurus rumah.
Peran wanita dalam politik pun sejatinya dilindungi oleh undang-undang. Contoh, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini diketahui, bahwa kuota 30% wanita dalam parlemen telah ditetapkan. Sayangnya, hal ini pun tidak di dukung oleh masyarakat.
Perubahan mindset (pola pikir) dan mental masyarakat ini, bergantung dengan tingkat edukasi dan sosialisasi, terutama bagi generasi muda. Kita butuh feminisme. Feminisme sendiri adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan dengan hak dengan pria.
Bila dirunut ke belakang, feminisme ini berasal dari bahasa Latin. yang bermakna femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.
Idealnya, pola pikir wanita Indonesia termasuk mentalnya, kini yang rata-rata sudah didoktrin menjadi “pelayan”, harus diubah. Pun pola pikir pria yang sedari kecil jenis kelaminnya telah disupremasi dan mentalnya diharuskan, memiliki pemupukan mental pemimpin.
Dalam konteks lain, istilah seksisme atau pembedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin, sudah terlanjur merajarela. Karena itu kita harus mempersiapkan generasi baru dengan feminisme. Anak-anak perempuan sudah seharusnya diajarkan, bahwa mereka mampu menjadi presiden, dan anak laki-laki pun seharusnya diajarkan bahwa mereka bisa menjadi pengikut dari seorang pemimpin wanita.
Alhasil, mengajarkan kesadaran akan kesetaraan gender sedini mungkin, harus melibatkan partisipasi perempuan, utamanya di dunia politik yang penuh dengan aneka tantangan di masa depan. Sejatinya, amat dibutuhkan !