EDUPUBLIK – Air, air dimana mana – namun tidak mencukupi, dan sebagian besar terbuang sia-sia Air mencakup sekitar 70% dari permukaan Planet tetapi hanya sekitar 1% yang dapat kita gunakan sebagai air tawar. Jumlah yang sedikit ini adalah sumber daya yang kita andalkan setiap kali kita minum, mandi, menggunakan toilet atau memasak. Ia juga sebagai penopang pertanian. Industri juga menggunakan air dalam segala hal dari menjalankan turbin uap yang menghasilkan listrik hingga pencucian peralatan dalam produksi semikonduktor.
Air merupakan kebutuhan inti untuk sebagian besar dari kegiatan manusia dan tanpa air, kehidupan di bumi akan mustahil. Lalu sebagian besar air yang digunakan akan menjadi air limbah.
Meskipun demikian, ini bukan akhir dari cerita – namun bisa dilihat sebagai awal yang baru Tertanam di bawah kota-kota di dunia terdapat jaringan pipa saluran pembuangan yang membawa air limbah menuju ke Instalasi pengolahan air. Sesampainya disana, ia melalui berbagai tahap pengolahan termasuk filtrasi ekstensif, pengolahan menggunakan bakteri serta disinfeksi.
Bakteri mungkin terdengar sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya dalam tahapan pengolahan air limbah. Namun ia memainkan peran penting dengan menangkap padatan tersuspensi yang sangat kecil yang masih tersisa di dalam air setelah penyaringan sedimentasi. Proses ini membutuhkan aerasi terhadap air untuk memberikan oksigen bagi bakteri untuk bertumbuh dengan subur. Aerasi juga menghasilkan turbulensi dimana terjadi pengadukan air sehingga terjadi kontak yang sempurna antara limbah dengan bakteri. Proses ini membutuhkan energi listrik yang tinggi dan ini terrefleksi dalam tagihan utilitas kita. Apakah proses ini bisa dibuat lebih efisien?
Mendapatkan Air bersih tetapi energi yang digunakan lebih kecil
Sebagai spesialis kepala di Divisi Sistim Air & Lingkungan di Toshiba Infrstructure Systems & Solutions Corporation, Yukio Hiraoka sangat menyadari akan kebutuhan untuk mereduksi konsumsi energi dalam pengolahan air limbah. “Fasilitas air limbah banyak mengkonsumsi energi – di jepang, 0.7% dari seluruh kebutuhan listrik. Ini adalah persentase yang relatif tinggi untuk satu proses Industri apalagi kalau kita menyadari bahwa 30% sampai 60% di gunakan untuk proses Aerasi”.
Sepintas, nampaknya penggunaan energi tinggi adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Air yang beroksigen merupakan kebutuhan dasar dalam pengolahan air limbah, dan ini membutuhkan listrik. Pada prinsipnya, perbandingannya sederhana: semakin banyak listrik, semakin banyak oksigen yang di masukkan kedalam air; semakin sedikit listrik, semakin sedikit oksigen – berarti juga berkurangnya jumlah air bersih.
Meskipun Hiraoka sangat menyadari hal ini, ia juga bertekad untuk merubah kondisi ini dengan mengurangi konsumsi energi sambil mempertahankan jumlah dan kualitas air bersih. Hiraoka menjelaskan lebih lanjut: “Dalam pengolahan air, karena kami mengambil sikap yang berhati-hati, kami cenderung memasukkan oksigen lebih banyak dari yang sebetulnya dibutuhkan didalam proses aerasi. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa proses pengolahan berjalan cukup baik sehingga dapat memenuhi persyaratan pengolahan yang ketat. Namun kami tidak memerlukan tingkat oksigen yang tinggi pada setiap saat. Pada dasarnya manusia memiliki pola tertentu dalam kegiatan mereka. Misalnya orang jarang mencuci piring pada tengah malam sehingga komposisi air limbah berubah pada periode tersebut. Konsumsi listrik dapat dikurangi jika kita memahami hal ini dan menyesuaikan jumlah oksigen yang digunakan. Sebuah sensor tunggal menjamin proses pemurnian air dengan biaya lebih rendah Nitrogen amoniak, NH4-N, adalah parameter yang sering digunakan untuk menguji kualitas air – semakin tinggi unsur ini, semakin rendah kualitas air.
Berpijak pada hal ini, Hiraoka dan rekan-rekannya di Toshiba telah mengembangkan solusi dengan menggunakan sensor yang secara otomatis mendeteksi konsentrasi NH4-N, serta kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen – DO). Dengan demikian, dapat dihitung volume udara minimum yang perlu dimasukkan kedalam air guna menjaga kadar DO untuk mendukung pertumbuhan bakteri yang optimal. Sistim ini memungkinkan pengelolaan volume udara dan mengurangi konsumsi energi secara keseluruhan.
“Kelebihan tehnologi tersebut terletak pada kesederhanaannya”, jelas Hiraoka.Sistim kami hanya membutuhkan satu sensor NH4-N, ditambah perangkat lunak khusus, untuk menghitung volume udara optimal yang dibutuhkan”
Pengembangan tehnologi ini dimulai pada tahun 2012. Dua tahun kemudian, berkat fungsionalitas serta keunggulannya dalam biaya, tehnologi ini terpilih dalam demonstrasi proyek penelitian yang didanai oleh Kementerian Tanah, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata Jepang. Dalam penggunaan aktualnya di fasilitas Pengolahan air limbah Homan River di Ogori, prefektur Fukuoka, pengoperasian dengan pola volume udara variabel terbukti 10.3% lebih rendah di bandingkan dengan pengoperasian dengan volume udara konstan. Suatu penghematan energi yang signifikan.
Bagi Hiraoka, pencapaian ini barulah sebuah keberhasilan awal. “Salah satu tangtangan adalah melakukan otomisasi untuk menggantikan operasi yang dilakukan oleh orang. Dengan demikian, pengelolaan sistim pengolahan air akan lebih mudah serta memungkinkan terjadinya pengurangan biaya operasi. Kita juga perlu melihat pemanfaatan akhirnya. Apabila air digunakan untuk kegiatan pencucian, dan bukan untuk minum, kualitas air yang dibutuhkan bisa lebih rendah. Hal ini akan mengurangi biaya juga. Banyak hal yang bisa di tingkatkan apabila kita melihatnya melalui sudut pandang yang berbeda.”
Bukanlah suatu pencapaian kecil jika milyaran orang di seluruh dunia bisa membuka keran dan langsung mendapatkan aliran air bersih yang bisa diminum; dan bukanlah masalah kecil apabila milyaran orang tidak bisa menikmati hal yang sama. Orang-orang seperti Hiraoka sedang mengembangkan tehnologi yang bertujuan untuk memberikan air bersih ke semua orang dengan biaya yang terjangkau.[rls]