EDUPUBLIK, Bandung – Dengan adanya gugatan pailit atas ‘kepemilikan’ Grand Asia Afrika (GAAR), tengah bergulir di PN Niaga Jakarta Pusat. Utamanya, hal ini dirasaakan sangat tidak beralasan. “Dugaan, permohonan pailit yang dilayangkan dua orang konsumen itu sangat kental oleh usur rekayasa dari pihak tertentu,” kata Ir. Yan Permana MM sebagai salah satu pemilik Unit B 388 di GAAR, yang juga selaku Dewan Pengawas Koperasi Grand Asia Afrika Mandiri.
Kepada redaksi, Yan Permana menjelaskan bahwa para pemilik GAAR Bandung, telah memohon kepada Presiden Joko Widodo, DPR RI, Gubernur Jabar, Walikota Bandung, serta pihak terkait lainnya:
“Mohon ikut terlibat dalam upaya menghentikan proses pailt yang kini tengah dihadapi PT Kagum Lokasi Emas (KLE), sebagai developer GAAR.”
Menurutnya yang juga selaku Ketua Umum Perwiranusa DPW Jawa Barat. berdasarkan hasil penyelidikan bersama penghuni GAAR lainya:
“Kedua konsumen yang mengajukan gugatan pailit ini, sebenarnya tidak sungguh-sungguh berniat untuk menggugat ke pengadilan. Meski mereka kecewa atas keterlambatan serah terima apartemen, sebnarnya hanya menginginkan agar pihak developer mengembalikan uang (refund). Atau, melakukan pergantian unit di tower yang sudah selesai dibangun.”
Fakta lain kata Yan Permana, kekecewaan dua konsumen ini, justru dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mengail di air keruh. Kebalikannya, proses negosiasi damai yang diinginkan kedua konsumen tidak dapat dilaksanakan karena adanya keterlibatan pihak lain yang seolah-olah menghalangi proses damai tersebut.
“Akibatnya, munculah gugatan pailit yang kini menyeret 1756 pembeli unit di GAAR.”
Mash kata Yan Permana, indikasi rekayasa ini semakin tampak tatkala kedua konsumen pada akhirnya mencabut gugatannya di pengadilan. Syangnya, lagi-lagi proses damai yang diupayakan antara penggugat dan seluruh pemilik apartemen GAAR menemui jalan buntu.
“Meskipun sudah mencabut gugatannya, hakim PN Niaga ternyata tidak mengakomodir proses damai ini. Alasannya, pihak tergugat tidak mengajukan proposal perdamaian.”
Diujung Tanduk…
Dalam kenyataannya menurut Yan Permana, ada hal yang ironi. Terdapat 1756 konsumen yang membeli unit sarusun dengan cara menyicil kini nasibnya diujung tanduk. Meskipun, dalam proses voting mayoritas kreditur menyatakan dukungan untuk tolak pailit, akan tetapi hal itu tidak memberi jaminan bahwa unit yang dimiliki benar-benar aman dari kemungkinan pailit.
“Penyebabnya, persidangan yang semula berawal dari kekecewaan konsumen, kemudian menyeret dua bank besar yang memberi jaminan pembiayaan kepada developer, yakni Bank Bukopin dan Bank ICBC.”
BIang persoalan lain, salah satu bank pemberi kredit, yakni Bank ICBC menolak menyetujui proposal perdamaian dengan alasan bahwa developer sebagai debitur tidak mentaati perjanjian kredit. “Artinya, proses pembayaran cicilan sering diabaikan pihak developer sehingga bank merasa dirugikan,” jelas Yan Permana.
Sesungguhnya mengatasi kemelut ini, berbagai upaya telah dilakukan – melalui negosiasi damai semua persoalan bisa dipecahkan. Pihak developer menawarkan untuk menjual asset-aset yang diagunkan agar hutang-hutang developer bisa terbayar. Faktanya, proses perdamaian terbentur berbagai kendala. Antara lain:
“Aset yang dijaminkan tidak kunjung terjual sehingga developer tidak bisa secepat mungkin memenuhi kewajibannya. Sementara permohonan perpanjangan waktu(grace period) dalam pembayaran hutang, juga tidak disetujui oleh pihak ICBC.”
Harap-harap Cemas
Seturut pendapat Yan Permana, boleh ditebak dengan penuh kecemasan:”Sidang pembacaan putusan yang rencananya akan digelar Senin, 6 Agustus 2018, menimbulkan kekhawatiran dari para pemilik unit GAAR. Meski kenyataannya sebagian besar kreditor (termasuk pihak dari Bank Bukopin) menyatakan dukungan untuk tercapainya perdamaian, namun palu hakim tentu tak bisa ditebak?”
Kekhawatiran tersebut, menurut Yan Permana, sangat beralasan. Meski berdasarkan hasil voting 99,79% kreditur konkuren menyetujui proposal perdamaian, namun dari pihak kreditur separatis yang menyetujui hanya satu bank, yakni Bank Bukopin (69,17%). Sementara itu, menurut pasal 281 ayat (1) UU KPKPU Bab III tentang Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang, syarat perdamaian dapat diterima bila: ½ dari jumlah kreditor konkuren dan mewakili 2/3 tagihan yang diakui, mengakui dan menyetujui perdamaian. Selanjutnya, ½ + 1 dari kreditur separatis yang mewakili 2/3 tagihan kreditor, menyetujui perdamaian.
“Permasalahannya, dalam voting tersebut syarat ½+1 belum terpenuhi karena jumlah kreditor separatis hanya ada dua. Jadi khusus untuk kreditur separatis posisinya masih fifty fifty. Celah inilah yang kami khawatirkan.”
Memohon Keadilan
Dalam penuturan lebih gamblang, Yan Permana menyatakan tanpa bermaksud berprasangka buruk terharap aparat penegak hukum. “Namun, semua kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan hakim justeru berpihak kepada bank pemberi kredit, yakni Bank ICBC. Jika demikian yang terjadi, maka ujung-ujungnya bisa ditebak. 1756 konsumen pembeli unit sarusun GAAR, nasib kepemilikannya akan semakin suram.”
Khawatir – Proses Lelang
.Ditengah kegalauan atas nasib 1756 konsumen termasuk dirinya, Yan Permana menyebutkan: Jika putusan pailit yang dijatuhkan hakim. Otomatis tanah dan bangunan GAAR akan jatuh ke tangan curator yang kemudian akan masuk dalam proses lelang.”
Muncul sejumlah pertanyaan dari pihak konsumen melalui Yan Permana: “Bagaimana hak-hak 1756 konsumen yang telah membeli unit di GAAR? Dijawab sendiri oleh Yan Permana: “Entahlah !” dengan menambahkan keluhan – “Yang pasti bercermin pada berbagai kasus yang pernah muncul, jika putusan sampai pada kata ‘pailit’, yang paling banyak menelan pil pahit adalah para pembeli unit. Dan itu bukan lagi rahasia umum.”
Diakhir penuturannya, para pemilik unit di GAAR memohon dengan sangat kepada pihak-pihak terkait agar turut memikirkan nasib, yang sedang mereka alami. “Esensi hukum adalah keadilan. Tugas penegak hukum adalah menegakkan keadilan. Oleh karena itu, Berikanlah keadilan yang sesungguhnya,” pungkasnya [rls/SA/HS]