EDUPUBLIK, Bandung – Masih setia di Garis Perjuangan, mahasiswa, Para aktivisi, penggiat HAM, hingga korban pelanggaran HAM menggelar aksi peringatan 26 tahun Reformasi serta napak tilas pelanggaran HAM era Orde Baru , amphiteater museum Siliwangi komplek UPI Bandung, jalan setia budi, Kota Bandung, Kamis (6/5/2024)
Aksi napak tilas kekejaman orde baru Para aktivis itu memajang ratusan tengkorak yang mewakili ribuan pejuang demokrasi dengan tampilan dramatis dan diperkuat dengan pameran foto.
Aksi ini bercerita tentang kekerasan Orde Baru yang menurut berbagai literasi membantai lebih dari 500.000 jiwa dalam sekian banyak peristiwa berdarah baik untuk kepentingan politik maupun ekonomi kekuasaan dan kroninya.
Kegiatan ini merupakan kritik kreatif kepada pemerintah dengan thema “Demokrasi Mati Suri” dimana sudah ribuan nyawa menghilang memperjuangkan demokrasi.
Adapun, sejumlah kasus pelanggaran yang menjadi sorotan hingga saat ini diantaranya Penembakan Misterius 1982, Rumah Heudong 1989, Kasus Sutet, Pembunuhan Munir, Udin Bernas, Marsinah, Pembunuhan Massal 1965, Poso dan Sampit.
Berdasarkan pantauan di lokasi, mahasiswa, pejabat negara, media, dosen, fotografer, dan pembuat konten sosmed begitu antusias melihat penampakan pertujukan ratusan tengkorak dan ratusan kuburan di komplek amphytheatre kampus UPI Bandung.
Mereka juga terlihat memperhatikan satu persatu instalasi kuburan yang terbuat dari papan triplek. Disetiap instalasi kuburan itu juga terdapat sejumlah nama korban pelanggaran HAM, diantaranya Munir, Widji Thukul, Marsinah hingga Udin Bernas.
Taburan bunga juga menghiasi instalasi kuburan yang ada di sana. Sebuah bendera merah putih dengan warna sudah mulai pudat juga terpampang di atas tumpukan instalasi tengkorak. Aroma dupa juga tercium menyengat di lokasi acara. Hal ini menambah suasana muram kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung terselesaikan hingga saat ini.
Di bagian panggung, terdapat seruan peringatan 26 tahun reformasi “Demokrasi Mati Suri”
Koordinator Keluarga mahasiswa Bandung (Kembang) Aska juga mahasiswa UPI dalam orasinya mengatakan bahwa iegiatan ini merupakan refleksi dari kejadian 26 tahun lalu. “Dulu mereka memang harus melakukan audiensi dan menduduki gedung. Tapi saat ini ada berbagai macam cara melakukan aksi protes salahsatunya dengan teatrikal,” kata Aska.
Aska juga menuturkan bahwa saat ini melakukan aksi protes bahkan hanya dengan menggunakan media sosial. “Dengan menggunakan media sosial akibatnya bisa sangat masive,” tutur Aska.
Salahseorang panitia, Asrul juga menanggapi kegiatan ini jangan selesai sampai disini. “Selaku mahasiswa kita harus terus menyuarakan demokrasi dari kampus, karena kampus merupakan tempat masyarakat intelektual,” tanggapnya. “Dan dengan intelektualnya itulah mahasiswa bersuara dan beraksi,” pungkas Asrul.[R]