EDUPUBLIK, Bandung – Perusahaan Listrik Negara (PLN) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah I digruduk puluhan warga Kab Bandung Barat (KBB), Kamis (8/3/2018). Mereka menuntut ganti rugi atas pembebasan lahan untuk proyek PLTA Upper Cisokan di KBB. Usai beraudiensi tanpa titik terang, pihak PLN pun mencoba memberi klarifikasi kepada wartawan yang hadir guna meminimalisir polemik yang terjadi, khususnya masalah gantu rugi lahan ini.
Menurut PLN, soal ganti rugi, pihaknya berpatokan pada dua dasar hukum yang berbeda, sebelumnya menggunakan perpres tahun 2005 tentang P2T. “Nah Perpres ini gak berlaku lagi sejak UU Nomor 2 Tahun 2012 diterapkan. Karena itu, untuk lahan yang luasnya dibawah 5 hektar, PLN yang memproses dan membayar ganti ruginya,” ujar Deputi Manajer Hukum dan Komunikasi PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah I, Efrizon.
Khusus yang 21 bidang tanah, PLN mendapat saran dari World Bank agar membentuk koperasi. Dan akhirnya PLN melakukan saran tersebut, bahkan gedung koperasi itu dibangunkan oleh pihak PLN, berikut pelatihannya juga difasilitasi PLN. “Khusus yang 21 orang ini gak mau koperasi dan minta dibayar tunai,” cetusnya. Sedangkan diluar yang 21 bidang tersebut pembayarannya sudah tuntas karena luas lahannya dibawah 5 hektar dengan cara kita bayar tunai,” ujarnya.
Terkait lahan milik Sulton yang luasnya lebih dari 10 Hektar, PLN menyarankan agar Sulton memperkarakannya kepada Mumun. Karena pembayaran lahan tersebut sudah diberikan kepada Mumun sebesar Rp 600 juta. “Gak mungkin PLN bayar dua kali di tempat yang sama. Kalau ini kita bayar, ini kerugian negara. Karena kita sudah membayar lunas kepada Mumun Rp 600 juta,” terangnya sambil menyebutkan bahwa dasar PLN membeli lahan milik Mumun adalah adanya leter C yang diakui legalitasnya oleh BPN juga pemerintah.
Karena merasa dirugikan, pihak Sulton pun melaporkan masalah ini ke Polda Jabar, atas dugaan penyerobotan lahan dengan tergugat pihak PLN. Adapun tuntutan Sulton dalam kasus ini sebesar Rp 15 miliar. Namun Polda meng-SP3-kan kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti. PLN menyebutkan, bahwa saat pengukuran dilakukan di lokasi, ternyata batas tanah yang disebutkan Sulton berbeda dengan tanah milik Mumun berbeda, jaraknya sekitar 700 meter.
“Ada dua bukti kepemilikan, satu sertifikat, yang kedua leter C. Sertifikat itu diaku oleh sulton, padahal yang Sulton itu beda lokasi, berbeda objek. Jadi ada kesalahpahaman. Yang sebenarnya Rudi harus tahu, ini bukan ranah Sulton, Mumun atau PLN, tetapi yang benar yang mana itu ada di (Putusan) PN. Jadi tunggulah sampai putusan itu memiliki kekuatan hukum tetap, itulah hukum,” imbuh Efrizon.
Terkait adanya personel yang ditempatkan di lokasi seperti brimob, polisi, atau ormas, PLN menyebutkan bahwa itu menjadi ranah PLN induk (Pusat). “Kalau soal ditempatkannya brimob, boleh dong, karena ini menyangkut proyek strategis nasional bahkan akan menjadi objek vital nasional (Obvitnas) nantinya. Pusat juga memiliki kebijakan sendiri, apalagi ini program nasional. Yang pasti, dalam bekerja, PLN itu sangat berhati-hati, sesuai koridor hukum, gak mungkin lah kita aneh-aneh. Sebenarnya mau saya jelaskan sampai tuntas, hanya saja tadi situasinya panas dan tidak kondusif, jadi saya hentikan,” ujarnya.
Untuk diketahui, selain Efrizon Deputi Manajer Hukum dan Komunikasi PLN UIP JBT I, pada rapat tersebut juga dihadiri Asep Irman selaku Deputi Manajer Pertanahan PLN UIP JBT I, Endiyaksa selaku Asisten Manajer Lingkungan PLN UPP Kit JBT 1 Proyek PLTA Cisokan, Ahmed selaku Humas dari PLN Distribusi Jawa Barat dan tentunya Syaifurahman selaku PLH General Manager PLN UIP JBT I. [jay/sh]